Gara-gara lubang tambang, 15 orang meninggal
Akan tetapi, Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz, meminta Kejaksaan Agung agar melengkapi kajiannya tentang kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah.
Sebab hitungan kerugian perekonomian negara yang disebut mencapai Rp271 triliun belum sepenuhnya tuntas.
Menurutnya, kerugian perekonomian negara berupa kerusakan lingkungan tak hanya terjadi di kawasan hutan dan non-hutan. Tapi juga, di wilayah pesisir dan laut.
“Kami mendorong negara juga mengakumulasi kerugian di wilayah pesisir dan laut, karena lanskap Bangka Belitung tidak bisa dipisahkan dari daratan dan lautan. Ruang hidup masyarakat Babel di wilayah laut dan darat,” ujar Ahmad Subhan Hafiz kepada BBC News Indonesia, Senin (01/04).
“Dan Walhi melihat angka Rp271 triliun itu bisa lebih besar karena belum mengakumulasi kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta meninggalnya belasan orang.”
Merujuk pada data Walhi Bangka Belitung, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan pada tahun 2019 mencapai satu juta hektare lebih, dari total luas Bangka Belitung sekitar 1,6 juta hektare.
Dari angka itu, hampir 50% izin pertambangan dimiliki oleh PT Timah. Selebihnya dikelola ratusan perusahaan.
Sialnya, menurut Walhi, terjadi deforestasi besar-besaran akibat pertambangan timah di kawasan hutan lantaran mayoritas perusahaan yang mengantongi izin maupun tidak, tak kunjung melakukan reklamasi atau pemulihan.
Akibatnya, 12.000 lebih lubang galian tambang timah dibiarkan menganga.
“Perkiraan kami ada 12.607 lubang tambang yang belum direklamasi selama tiga tahun, sejak 2021 sampai 2023,” jelasnya.
“Kalau dihitung belasan ribu lubang tambang itu sama dengan luasan 15.579 hektare.”
Gara-gara lubang tambang itu, tercatat ada 21 kasus tenggelam.
Dari 15 korban yang meninggal dunia, 12 di antaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
Selain menyebabkan korban meninggal, lubang-lubang tambang itu juga memicu sumber penyakit baru – entah menjadi tempat sarang nyamuk atau lokasi berbahaya lantaran memiliki tingkat radiasi cukup tinggi.
Dan, yang tak kalah mengerikan katanya, menimbulkan bencana kekeringan.
“Pada tahun 2023 kemarin kami mengalami bencana kekeringan. Sumber air di Bangka Belitung mengalami krisis. Masyarakat akhirnya mengambil sumber air dari lubang-lubang tambang dengan kualitas air yang berbahaya.”
Akibat tambang, ribuan hektare terumbu karang mati
Ahmad Subhan berkata, aktivitas penambangan timah tak hanya berlangsung di kawasan hutan. Namun merambah ke wilayah pesisir dan laut lantaran “di darat sudah tidak mendukung lagi alias habis”.
Padahal di tengah kerusakan ekosistem terestrial yang terus terjadi, harapan masyarakat bertumpu pada lautan di Kepulauan Bangka Belitung yang luasnya sekitar 6,5 juta hektare.
Akan tetapi, kata dia, kapal-kapal ponton isap produksi atau TI Rajuk yang dipakai untuk penambangan timah ilegal memenuhi pesisir Babel.
“Masalahnya adalah IUP di wilayah laut Babel sangat luas dan ini jadi problem baru karena tata ruang di sini lebih banyak mengakomodir tambang di laut,” ungkapnya.