Walhi Bangka Belitung menduga kuat timah yang ditambang dari wilayah pesisir dan laut ditampung oleh perusahaan pengolahan atau smelter ilegal yang kini ditangani Kejaksaan Agung.
Karena mustahil hasil tambang timah ilegal itu diserahkan pada perusahaan smelter berizin.
Atas dasar itulah, dia meminta Kejaksaan Agung turut melacak aliran timah ilegal dari hulu hingga ke hilirnya.
“Harus dilacak kemana aliran timah tadi, apakah PT Timah terlibat menampung timah ilegal dari pesisir?”
Dalam aktivitasnya, kapal-kapal ponton isap produksi ini juga memicu konflik dengan nelayan. Pasalnya hasil tangkapan para nelayan makin menurun akibat pencemaran limbah tambang.
Sebab tak cuma mencemari, penambangan timah yang dilakukan dengan cara menyedot pasir laut membuat terumbu karang hancur dan mati.
“Dalam beberapa kasus limbah tambang bisa terbawa sejauh 6-7 mil. Limbah tambang itu berupa oli dan pasir yang tak terpakai dibuang lagi ke laut.”
Catatan Walhi Bangka Belitung, luasan terumbu karang di Babel pada tahun 2015 mencapai 82.259 hektare. Tapi di tahun 2017, ekosistem terumbu karang tinggal 12.474 hektare.
Itu artinya, terumbu karang di Babel berkurang 64.514 hektare dalam dua tahun terakhir dan yang mati sekitar 5.270 hektare.
Imbas lain dari tambang timah di pesisir dan laut, juga menambah konflik buaya dengan manusia.
Sepanjang tahun 2021 sampai 2023, klaim Walhi, ada 25 kasus konflik buaya dan manusia yang menyebabkan 14 orang meninggal dan 12 lainnya luka-luka.
Walhi: Pemerintah harus moratorium tambang di Babel
Walhi Bangka Belitung memprediksi dalam lima hingga 10 tahun mendatang Babel berpotensi mengalami krisis ekologi.
Sebab data tampung dan daya dukung lingkungan di Babel sudah tidak bisa lagi dibebani oleh izin-izin industri ekstraktif skala besar seperti tambang timah, tambang pasir kuarsa, dan perkebunan kelapa sawit.
Dengan begitu, Walhi Babel mendesak pemerintah pusat dan daerah memoratorium izin-izin baru baik di darat maupun laut.
Kemudian segera melakukan penegakan hukum lingkungan dan pemulihan berbasis kearifan lokal.
Pengamatannya sejauh ini banyak wilayah adat yang hilang -baik laut dan darat- akibat pola penentuan ruang yang bernuansa industri dan mengeyampingkan perspektif masyarakat lokal dalam mengelola alam mereka.
“Yang terpenting juga, izin-izin yang sudah ada direview kembali, dievaluasi karena merusak lingkungan dan merampas ruang hidup rakyat serta memicu konflik.”
sumber bbc news indonesia